Jumat, Juli 30, 2010

Sayang Kecil Kami, Hafizhi

Saat tulisan ini dibuat, saya sambil memandang makhluk mungil yang ada di depan mata saya. Makhluk yang selama 9 bulan lebih, lebih tepatnya 40-41 minggu, ada di dalam perut, lalu keluar, dan sekarang ada di alam dunia. Rasanya sunguh luar biasa, masya Allah. Hanya Dia yang Mahakuasa melakukan semua hal ini.

Makhluk mungil yang lahir tanggal 19 Juli itu berjenis kelamin laki-laki. Dia telah kami beri nama. Sebuah nama sekaligus do’a agar kelak ia dapat menjadi harapan yang da di dalam makna namanya. Binar Hafizhi Adly. Perpaduan tiga suku kata yang juga perpaduan tiga makna yang indah, insya Allah. Binar yang berarti cahaya, Hafizhi berarti penjaga/pemelihara, Adly merupakan singkatan dari nama saya dan suami, Doni dan Yuli. Jadi, kalau diartikan keseluruhannya adalah anak laki-laki Doni dan Yuli yang menjadi cahaya dan penjaga keluarga, insya Allah kelak juga bisa menjadi hafizhulqur’an. Amiin.

Selama 3 hari 3 malam berada di rumah sakit, Hafizh tidak saya ketahui persis perkembangannya karena saya hanya bertemu dengannya setiap 2 jam untuk menyusuinya. Setelah pulang ke rumah, barulah saya bisa mengamatinya selama 24 jam. Sebenarnya, tidak 24 jam juga siy karena kalau Hafizh tidur dan saya juga tidur (ex: malam hari) maka saya tidak mengamatinya full.

Tepat hari ke-7 dari tanggal lahirnya, Hafizh diaqiqah, tapi rambutnya belum dicukur semua, tunggu sampai 40 hari nanti. Hari ke-8-nya, alhamdulillah tali pusatnya lepas, tanpa tangisan. Awalnya siy ada tangisan. Saat itu, saya sama mama bingung dengan tangisannya, akhirnya mama ngeh dan lihat kalau tali pusatnya saat itu sudah hampir lepas, mungkin karena perih makanya nangis Hafizh kenceng banget. Tidak lama, siangnya, tali pusat itu lepas sendiri saat saya mengganti popoknya.

Hari ini, tepat sepuluh hari sudah usia Hafizh. Pola kesehariannya sudah bisa dibaca. Hanya saja terkadang saya masih belum bisa tahu maunya Hafizh ketika nangis. Intinya siy ketika dia menangis saya harus tetap tenang dan tidak panik karena kalau panik maka akan semakin sulit mengetahui arti tangisannya dan bahkan tangisan itu akan semakin kencang.

Ayah Hafizh? Oiya, ayah sekarang juga sudah mulai mahir mengajak Hafizh bermain. Untuk menggendong pun sudah lebih baik, dengan banyak latihan insya Allah bisa lebih rileks. Ya harus donk, masa’ ayah nggak bisa menggendong anaknya sendiri.

Rumah sekarang jadi ramai dengan suara Hafizh tapi kalau Hafizh bobo suasana menjadi tenang karena kalau ada berisik sedikit dan Hafizh sedang tidak lelap maka dia akan terusik dan bangun. Sesekali saya sempat merenung saat melihat Hafizh bobo, saat Hafizh seperti sekarang ingin rasanya dia cepat besar sehingga tidak lagi sering menangis saat menginginkan sesuatu yang kami semua terkadang salah mengartikannya, melainkan dia bisa mengatakannya. Tapi bila nanti dia sudah besar, saya pasti merindukan saat-saat dia kecil seperti sekarang, rindu tangisannya.

Hmm, semua ada waktunya.
We love you, Hafizh...:)

Sekali Lagi, yang Terakhir

Trilogi Amazing Moment (3)

Senin pagi tiba setelah semalaman tidak bisa tidur lantaran mules yang kerap datang membangunkan saya. Pagi itu, saya diperiksa lagi apakah ada penambahan bukaan jalan lahir. Rupa-rupanya belum nambah. Setelah bidan menelepon dr. Kus, diputuskan untuk memasang balon. Ntahlah saya tidak mengerti seperti apa alat yang disebut balon itu, yang dimasukkan ke dalam jalan lahir. Bagian yang berada di luar saya melihatnya, semacam selang ada bagian ulirnya. Kata bidan, setelah balon dipasang, saya boleh beraktivitas kembali dan melakukan BAK atau BAB seperti biasa. Awalnya, setelah dipasang, saya BAK agak-agak aneh, tapi saya coba biasa saja.

Oiya, balon itu (denger-denger) fungsinya untuk mempercepat penambahan bukaan jalan lahir karena bayi yang di dalam rahim usianya sudah mencukupi, khawatir terjadi sesuatu makanya harus dipercepat dan salah satu caranya dengan dipasang balon itu. Mungkin kalau dengan balon itu tidak berhasil, akan ada tindakan lain yang (mungkin) lebih dahsyat. Kenapa saya bilang lebih dahsyat? Ya, karena setelah dipasang balon itu, mules saya nggak ketolong lagi (berlebihan ya?!). Setiap 10 menit sekali datang mules yang amat hebat sampai saya terguling-guling (padahal nggak bisa guling-guling juga). Saya sampai meringkel di tempat tidur padahal kaki nggak boleh ditekuk. Duh, serba salah rasanya saat itu. Apalagi ketika disuruh makan, harus cepat-cepat ketika rasa sakitnya sedang tidak kambuh karena kalau sedang kambuh jangan paksa saya untuk makan, duduk saja tidak sanggup.

Setiap mules datang, saya menggenggam tangan suami dengan erat. Setelah rasa sakit hilang, saya tetap memegang tangannya, seolah-olah tidak ingin dia pergi sesenti pun. Kalau tangannya sedang tidak bisa digapai, tangan umminya sayang kecil yang jadi sasaran.

Jam makan siang tiba. Saya berusaha makan ditemani suami. Ketika rasa mules datang, saya kembali meringkuk. Ketika rasa mulesnya pergi perlahan, saya pun mengunyah makanan yang sudah terlanjur masuk mulut tapi belum sempat saya kunyah. Makan siang itu tidak habis. Setelah makan siang, tepatnya setelah azan zuhur, saya dipanggil ke kamar bersalin untuk dicek apakah ada hasil dari pemasangan balon tersebut. Rupanya balonnya belum lepas, begitu kata bidannya. Saya pun disuruh tiduran saja di kamar yang terasa adem itu, tanpa ada teman. Berkali-kali mules datang, tak ada lagi pegangan tangan seperti saat di kamar tadi. Saya hanya bisa berpegangan di tempat tidur atau kadang meremas bantal.

Beberapa lama kemudian, rupanya balonnya lepas dan sudah bukaan lima. Itu yang terucap dari lisan dr. Kus yang tiba-tiba muncul dengan bajunya berwarna hijau plus jas putih kebanggan seorang dokter. Lalu, saya kembali disuruh menunggu. Sambil menunggu itu, sayup-sayup saya mendengar suara suami yang menanyakan keadaan saya pada bidan di depan kamar bersalin karena memang sejak zuhur itu saya ke kamar bersalin, (mungkin) tidak ada yang memebri kabar padanya. Ingin rasanya berteriak untuk memintanya menemani saya saat itu, tapi tidak bisa. Tak lama, saya melihat kesibukan para suster dan bidan mempersiapkan berbagai macam alat di samping kiri tempat tidur saya. Ya, sepertinya ’waktu itu’ akan segera tiba. Tak lama, saya kembali diperiksa dan ternyata sudah bukaan delapan. Persiapan semakin dipercepat dan terlihat sudah rapi.

Saya tidak tahu persis waktu sudah menunjukkan pukul berapa saat itu, yang jelas saya masih bisa mendengar suara azan ashar waktu itu. Setelah azan selesai, bidan dan dokter sudah ready di kanan-kiri saya. Lalu saya mendengar seorang bidan meminta agar suami saya dipanggil. Tak lama, suami tersayang datang dan berdiri di sisi kiri atas tempat tidur.

Waktunya tiba. Saya disuruh mulai mengejan beberapa kali. Masya Allah, rasanya sudah campur aduk. Tak ada tenaga yang bisa begitu kuat mendorong (mungkin) selain saat itu. Ada seorang bidan di sebelah kanan saya yang ikut membantu mendorong dengan menekan perut saya bagian atas. Ya Allah, sakit di jalan lahir ditambah mules rasanya ingin segara diakhiri. Caranya hanya satu yaitu saya harus segera mengeluarkan sayang kecil kami.

Entah sudah berapa lama waktu berjalan. Beberapa kali saya kembali diminta untuk mengejan. Beberapa kali juga saya salah teknik. Teknik yang sudah diajarkan saat senam hamil dulu terasa begitu mudah, tapi ketika dihadapkan pada kenyataannya terasa sulit. Saat mengejan yang merangkul kedua paha rasanya begitu berat. Ditambah harus mengejan tanpa suara. Suami terus menyemangati dengan dzikir dan do’a sambil memegang kepala saya. Sempat beberapa kali mengambil napas, namun tidak lama dan saya diminta terus mengejan karena memang tidak boleh berhenti. Jika berhenti bisa berakibat fatal untuk sayang kecil. Di antara saat mengejan itu saya merasakan ada sesuatu yang nyeri-nyeri di bagian jalan lahir. Saya juga sempat melirik dr. Kus yang seperti sedang melakukan sesuatu dan mengakibatkan rasa nyeri itu. Ya, saya merasa beliau sedang menggunting guna memperlebar jalan lahir sehingga sayang kecil mudah dikeluarkan.

Ketika dikatakan bahwa kepala sayang kecil sudah terlihat dengan rambutnya yang hitam, saya semakin terpacu. Bidan mengatakan “sekali lagi, Bu, terakhir yuk, Bu!”, tapi ternyata belum berakhir. Dan saat bidan di sebelah kanan sedang belum ready, saya mengejan sendiri dan akhirnya...ya, akhirnya 19 Juli 2010 pukul 15.50 WIB kepala sayang kecil keluar juga. Alhamdulillah, semua mengucap syukur. Tapi masih ada yang mengganjal. Setelah dr. Kus mengeluarkan bahunya barulah saya merasa lega. Suami saya langsung mengucap syukur dan mengecup saya berkali-kali. Saya merasa lemas, sangat lemas. Habis semua energi.

Ternyata, inilah rasanya dulu mama saat melahirkan saya.

Check In

Trilogi Amazing Moment (2)

Hari Ahad yang tak menentu. Sejak pagi rasa was-was mulai muncul, tapi saya masih ragu untuk mengiyakan ajakan suami untuk pergi ke rumah sakit. Menit demi menit berlalu, jam demi jam terlewati, sambil merasakan mules yang tak menentu. Menjelang siang, tepat pukul 11.30 WIB, mules itu mulai muncul per 10 menit. Saya pun mulai merasa tak nyaman, apalagi suami, dia merasa seperti sudah saatnya.

Selepas makan siang, akhirnya diputuskan untuk segera berangkat ke rumah sakit. Sudah berbekal tas yang berisi perbekalan selama di rumah sakit yang sudah saya siapkan dari jauh-jauh hari, saya dan suami berangkat dengan kuda besi beroda dua menuju rumah sakit. Selama di perjalanan saya masih sempat-sempatnya menghibur diri dan mengajak suami bicara sambil bercanda, berusaha mengurangi rasa sakit.

Sampai di rumah sakit, kami langsung ke lantai dua, seperti yang sudah diintruksikan oleh dokter saat kontrol hari Sabtu. Saya diminta untuk masuk ke sebuah ruangan besar, sendiri. Suami diminta untuk menunggu di ruang tunggu berjarak kira-kira 20 meter dari ruangan yang kami masuki sebelumnya.

Ruangan yang cukup besar, berisi tiga tempat tidur membentuk huruf L dengan jarak kira-kira 3 meter antar tempat tidur, ada sebuah toilet, dan di satu sisi ada wastafel, kulkas kecil, dispenser, dan tempat menaruh berbagai peralatan medis. Secara spontan saja, saya menuju ke arah kasur yang serong dari pintu masuk, dekat toilet. Bidan yang menyambut kedatangan kami di pintu masuk meminta saya untuk berbaring dan akan diperiksa.

Bidan Kartika, bidan yang cukup saya kenal wajahnya saat mengikuti senam hamil, padahal hanya satu kali bertemu dengannya. Ternyata dia pun mengenal saya. Dia mulai memeriksa denyut jantung bayi di dalam perut saya dilanjutkan dengan periksa dalam. Tahu maksud periksa dalam? Ya, pemeriksaan ini dilakukan oleh jari tangan bidan yang masuk ke dalam vagina untuk mengecek sudah berapa senti bukaan mulut rahim sebagai jalan lahir bayi.

Rupa-rupanya, tangan Bidan Tika tidak sanggup mencapainya. Lalu dia memanggil seniornya yang dipanggil ‘bunda’. Belakangan saya tahu namanya (kalau tidak salah) Bidan Elva. Wow, saking seniornya, bener-bener senior, jari tangannya pun berhasil menggapai apa yang dimaksud walau dengan susah payah dan kebandelan saya yang kerap kali mengangkat (maaf) bokong saat diperiksa. Ya, saat diperiksa bukaan jalan lahir itu sebenarnya tidak boleh mengangkat bokong karena akan mempersulit pencapaian jari tangan akibatnya tangan bidan akan ‘lebih masuk’ lagi dan rasa sakitnya pun ‘lebih-lebih’ lagi.

Keberhasilan itu pun datang disertai ucapan hamdalah dari si bidan senior, dilanjutkan dengan kata ‘satu’. Saya langsung menangkap bahwa yang dimaksud adalah bukaan satu sentimeter. Bidan senior itu pun keluar. Saya masih berbaring untuk diperiksa kembali denyut jantung bayi di dalam perut dengan alat yang lebih keren disertai print-out seperti mesin pencatat getaran gempa bumi. Lalu, Bidan Tika datang lagi dengan meminta beberapa informasi tentang diri saya (biodata). Lama kemudian, saya keluar. Suami diminta untuk mengurus check in kamar karena menurut informasi dari bidan yang menelepon dr. Kus saya diminta untuk menginap di rumah sakit saja, tidak usah pulang lagi.

Tak lama, suami kembali dan sudah mendapat kamar untuk menginap. Akhirnya, jadilah kami mulai bermalam di rumah sakit sejak Ahad malam.

Datang Lagi dan Begitu Hebat

Trilogi Amazing Moment (1)

Hari-hari cuti di rumah, mulai datanglah yang namanya ‘mules’. Ntah, apakah rasa yang saya rasakan itu benar disebut mules sebagai tanda-tanda melahirkan atau bukan, pokoknya saya merasakan perut ini seperti sedang... duh, saya tidak bisa menggambarkannya. Mungkin benar seperti yang dr. Kus katakan, rasa mulesnya ‘beda’, (mungkin) lebih hebat dari semua mules yang pernah kita rasakan sebelumnya.

Dari semua mules itu, datangnya memang tidak tentu, sedangkan mules yang dimaksud sebagai tanda akan segera bersalin datangnya teratur. Kadang-kadang mules yang saya rasakan datang satu jam sekali selama tiga kali. Tapi, di jam keempat tak ada lagi rasa mulesnya. Berarti tidak teratur dan belum menjadi tanda yang sebenarnya.

Selain mules, tanda-tanda lain seperti keluarnya cairan juga menjadi tanda yang cukup membuat jantung berdebar-debar. Saya khawatir itu adalah cairan air ketuban yang sudah pecah duluan. Jika memang benar, hal itu bisa saja mengancam jiwa sayang kecil. Oleh karena itu, saya cepat mengkonsultasikannya ke dr. Kus, dan setelah dicek ternyata bukan air ketuban. Alhamdulillah.

Hari Sabtu, 17 Juli 2010, tanggal yang diprediksikan sebagai tanggal lahirnya sayang kecil, tanda-tanda yang meyakinkan belum juga datang. Saya dan suami kontrol ke dokter pagi itu. Dokter pun belum menemukan jalan lahir/pembukaan yang diharapkan. Akhirnya, dokter minta kami pulang dan datang 3 hari kemudian.

Rupa-rupanya, mungkin, sayang kecil tahu bahwa kalau dia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal lahir bundanya, ada yang kurang setuju. Kalau lahir keesokan harinya, berarti punya tanggal yang sama dengan tantenya (seperti yang diinginkan tantenya). Tapi, sayang kecil ingin punya tanggal lahir sendiri yang berbeda dengan yang lain. Jadi, dia pun menangguhkan waktunya sampai semua orang bisa menerima kehadirannya. Subhanallah.

Hari Sabtu malam sampai Ahad pagi menjelang siang, rasa mules semakin tak menentu dan semakin hebat terasa. Datangnya pun sudah mulai sering walau masih berantakan waktunya. Kadang satu jam sekali, lalu 20 menit sekali, 15 menit sekali, tapi kadang hilang dan tidak terasa lagi. Ditambah lagi, mulai ada keluar flek berwarna kecokelatan yang membuat jantung makin dag-dig-dug, apakah benar ‘waktu’ itu akan segera tiba. Kami hanya bisa menunggu sambil tetap waspada. Alhamdulillah itu hari Sabtu dan Ahad di mana suami standby di rumah sehingga bisa siaga bila terjadi sesuatu.

Menunggu...

Selasa, Juli 13, 2010

Menghitung Hari

Menunggu hari kelahiran itu memang mendebarkan ya. Dari kemarin siy masih sok pede bahwa everything is okay, tenang-tenang aja. Tapi, setelah menjalani hari-hari ini kok rasanya jadi cukup 'parno'.

Sudah empat hari menjalani hari di rumah. Ya, cuti melahirkan yang sudah diambil sejak hari Rabu yang lalu mengharuskan Bunda untuk 'beraktivitas' di rumah. Bunda berusaha untuk menikmatinya, berusaha mengagendakan satu aktivitas setiap hari supaya yang namanya kejenuhan tidak pernah datang dalam agenda Bunda.

Menghitung hari, ya menghitung hari, tapi entah kapan hari itu datang. Hanya Allah yang tahu dan hanya Dia yang tahu kapan sayang kecil akan diinstruksikan untuk 'keluar'. Keluar dari perut Bunda yang sudah mulai sempit untuk sayang kecil dan menjadi penghuni alam dunia yang begitu luas. Insya Allah.

Beberapa hari belakangan tanda-tanda itu mulai ada, tapi belum meyakinkan. Mulai dari kontraksi, agak-agak mules, tapi untuk flek sebagai tanda pasti kemungkinan 'waktu'nya telah tiba memang belum tampak.

Ya Allah, beri kemudahan akan petunjuk dan tanda-tanda menuju proses melahirkan ya. Mudahkan juga proses kelahiran nanti ya, ya Allah. Semoga sayang kecil bisa lahir dengan normal tanpa tindakan apalagi dengan proses operasi. Amiin.

"Menghitung hari... Detik demi detik..."