Rabu, Desember 31, 2008

Memang Benar... Harus YAKIN!

99% Yakin Ditolak

Dulu, beberapa tahun sebelum menikah atau sekitar 1997 saya mendatangi seorang guru untuk berkonsultasi soal pernikahan. Intinya minta nasihat seputar meningkatkan kepercayaan diri agar siap menerima berbagai kemungkinan ketika melamar seorang gadis. Saya sebut berbagai karena kemungkinannya memang ada beberapa, diterima, ditolak, diam saja tanpa "Ya" atau "Tidak", dan diminta menunggu beberapa waktu tanpa kejelasan alias menggantung.

Kemungkinan pertama pasti yang diharapkan, kedua semoga Allah menjauhi kita dari malapetaka menyakitkan itu, yang ketiga juga ada untungnya ada ruginya, sebab kita punya kesempatan untuk mencari alternatif. Sedangkan keempat sama sekali tidak jelas harus bersikap seperti apa, mau cari alternatif eh tahunya diterima, tidak punya alternatif ternyata ujung-ujungnya ditolak.

Sang guru pun berkata, “Datangi gadis itu dengan keyakinan penuh…” belum sempat saya berkomentar, guru itu meneruskan kalimatnya, “maksudnya, 99% yakin ditolak,” matanya menatap tajam mencoba meyakinkan saya yang terlihat ragu-ragu dengan perkataannya.

Jujur, saya memang sering dibuat tak mengerti oleh banyak kata-katanya yang buat saya terlalu filosofis. Mungkin karena level ilmu yang berbeda, dan antara saya dan ia berada pada maqom yang tak sederajat secara keilmuan yang membuat saya sering mengerutkan dahi saat menerima petuahnya. Contohnya ya soal 99% yakin ditolak ini.

Akhirnya sang guru harus menarik nafasnya dan karena merasa iba dengan anak muda yang agak-agak telmi –telat mikir- ini ia terpaksa menurunkan level derajatnya untuk menjelaskan maksudnya. “Kalau yakin diterima itu sudah biasa, tapi begitu kamu ditolak sakit hatinya luar biasa. Cobalah isi hatimu dengan keyakinan 99% ditolak, kalau pun benar-benar ditolak sakit hatinya hanya 1% saja, kan memang sudah yakin dan siap ditolak…”

“Tapi kalau diterima… ini baru luar biasa. Bayangkan, ada orang yang yakin tidak diterima kemudian tiba-tiba diterima lamarannya. Pasti senangnya bukan main, lebih dari kebahagiaan orang yang datang dengan keyakinan diterima. Yang yakin diterima, kalau diterima itu akan biasa-biasa saja, namun kalau ditolak, wuiih… bisa sebulan nggak mau makan dan minum,” ia terkekeh-kekeh melihat saya yang mulai nyambung.

Sejak saat itu saya tak pernah ragu untuk menikah, mmm… maksudnya mengajukan lamaran, baik lamaran pekerjaan maupun lamaran kepada calon mertua agar merelakan anaknya dipinang oleh lelaki sederhana ini. Selain memang karena saya yang selalu percaya diri serta yakin perempuan akan menyesal seumur hidup jika menolak saya, ditambah petuah dari sang guru membuat kepercayaan diri saya menjulang setinggi gunung, meski belum sampai ke langit.

Jujurnya lagi, setelah hari itu pula saya sempat mengalami beberapa –seingat saya tiga kali- ditolak setengah matang (kalau mentah-mentah kesannya tidak punya harga diri sekali) oleh perempuan. Pertama, karena dia punya dua pilihan dan akhirnya pilihannya tidak memihak kepada saya. Yang kedua, cita-citanya menikah dengan pengusaha dan jelas saya bukan pengusaha. Sedangkan yang ketiga, ini lebih membanggakan bagi saya, karena alasannya justru karena dia minder melihat bio data saya yang panjangnya mirip novel setengah jadi.

Sekadar tahu saja, novel setengah jadi itu pula yang meluluhkan seorang gadis di Bogor yang ikhlas –dan bangga- menjadi isteri saya sampai hari ini.

Saya menceritakan kisah ini kepada seorang sahabat dalam perjalanan pulang dari Solo kemarin, “yakinlah 99% diterima, tapi dibarengi dengan peningkatan kualitas diri. Niscaya perempuan mana pun akan berpikir sembilan ratus sembilan puluh sembilan kali sebelum menolak…” So, maju terus sobat, jangan lupa berdoa! (gaw)

Selasa, 30 Desember 2008 11:42

oleh: Bayu Gawtama

sumber: www.warnaislam.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar