Kamis, Mei 27, 2010

Menjawab Pertanyaan Ayahnya

Suatu hari, di usia kehamilan menginjak 8 bulan.
Waktu itu ba'da sholat maghrib. Selepas sholat, seperti biasa, ayah dan bunda berdzikir dan berdo'a, lalu lanjut ke agenda makan malam. Nah, selesai dzikir dan do'a, ayah tidak langsung bangun menuju meja makan, melainkan justru merebahkan diri di atas sajadah. Akhirnya, ayah dan bunda terlibat pembicaraan hal-hal ringan seputar hari itu, sebentar.

Setelah itu, bunda merasa lelah dan ingin cepat-cepat istirahat. Bunda mengajak ayah untuk segera makan malam. Rupa-rupanya, ayah berniat untuk tilawah dulu untuk sayang kecil. Bunda agak terperanjat karena biasanya memang tilawah untuk sayang kecil dilakukannya menjelang bunda tidur.

Tiba-tiba, dengan spontan, ayah mendekati perut bunda dan berbicara dengan sayang kecil.
"Sayang mau ma'em atau mau denger ayah tilawah?" kata ayah.
"Kalau mau maem sekali, kalau mau tilawah dua kali," lanjutnya. Maksudnya, kalau sayang kecil mau maem, dia diminta untuk merespons dengan 1x gerakan, jika mau mendengar tilawah ayahnya memberikan respons 2x gerakan.

Tanpa kami sadari, sayang kecil ternyata langsung menjawab pertanyaan ayahnya. Dia memberikan gerakan 1x dan memang hanya 1x. Setelah itu, kami menunggu sejenak, kalau-kalau akan ada gerakan lagi. Tapi, ternyata tidak ada lagi. Ayah pun akhirnya bangun dari rebahannya dan mengatakan, "Oke, kita makan, yuk!"

Kami berdua saling tersenyum dan bercampur kaget saat tahu kalau sayang kecil benar-benar merespons pertanyaan ayahnya. Subhanallah... anak yang cerdas, insya Allah. Mudah-mudahan kelak benar-benar jadi anak yang cerdas, ya. Amiin.

Tak Lagi Hanya Menendang

Semakin besar sudah perut Bunda, semakin besar juga pertumbuhan sayang kecil di dalam rahim. Aktivitasnya sudah tak lagi sedikit, tapi sudah banyak. Mungkin kalau bisa ditebak, memang sudah banyak rasa yang dia ekspresikan lewat gerakan. Hanya saja, kita yang di luar dunianya hanya bisa meraba, tidak bisa tahu dengan pasti sedang apa dia di dalam ruang yang cukup hangat itu.

Usianya yang sudah 8 bulan lebih ini, gerakan-gerakan yang diperlihatkannya sudah bukan lagi hanya menendang. Bunda pun sudah jarang lagi menyebut kata 'menendang' karena khawatir makna kata itu mengarah pada aktivitas yang negatif dan khawatir juga dia jadi mengingat kata itu. Ada gerakan lain yang Bunda namakan 'menggeliat'. Ntah benar atau tidak, tapi seperti itulah kira-kira namanya. Ya, karena memang Bunda tidak merasakan itu sebagai sebuah tendangan, tapi seperti gerakan menggeser, merubah posisi, atau memang menggeliat sungguhan. Kalau dilihat secara kasat mata, perut Bunda seperti bergelombang saat sayang kecil 'menggeliat' itu.

Dulu, kalau malam hari, gerakan 'menggeliat' itu terlihat sekali dan terjadi berkali-kali. Bunda tidak menyentuh perut, tapi justru lebih seru melihat dari atas posisi perut yang berombak-ombak (ups, berlebihan, ya?!). Setelah itu, Bunda ceritakan kepada ayah dan ummi-nya sayang kecil. Saat mereka melakukan hal yang sama pada perut Bunda, mereka pun tak kalah kagetnya dengan Bunda dan satu hal yang terlihat setelah kekagetan itu, jelas... wajah senyum mereka, wajah senang karena menyaksikan sesuatu yang (mungkin) belum pernah mereka lihat sebelumnya. Semua itu pertanda bahwa buah hati kami baik-baik di sana karena dia aktif bergerak.

Mudah-mudahan, sampai waktu 'terbaik' itu tiba, dia akan lahir dengan sehat dan selamat. Amiin.

Kamis, Mei 06, 2010

Jangan Mengeluh

Ntah harus mengawalinya dengan kata apa, saya bingung. Cerita aja ya...
Tadi malam, suami saya menceritakan teman SMA-nya (yang juga teman saya) yang sedang hamil. Usianya hampir sama dengan kehamilan saya. Dalam sebuah situs jejaring sosial, teman kami itu menanyakan usia kehamilan saya kepada suami. Lalu, ada juga kalimat agak mengeluh dengan kehamilannya karena merasa lama menunggu waktu lahiran tiba. Oleh karena dia merasa tidak nyaman.

Lantas, apa yang ditulis oleh suami terhadap kalimat keluhannya itu?Dia menjawab pertanyaan tentang usia kehamilan saya dan menambahkan kalimat "...tapi tidak banyak mengeluh". Setelah itu, (kata suami) dia tidak menanggapi kalimat itu.

Saya hanya membalas (memberi respon) senyum kepada suami saat dia bercerita. Di dalam hati, saya cukup bahagia dengan sikapnya yang membahagiakan saya, yang berusaha membanggakan istrinya tetapi bukan berarti ujub melainkan ingin memberikan nasihat kepada teman kami itu. Di dalam hati (lagi) saya mencoba merenung apakah kata-kata suami kepada teman kami itu benar adanya?! Apakah saya memang tidak banyak mengeluh?!

Saya coba merenung, bahkan sampai tadi pagi. Saya merasa ditegur dan dinasihati juga bahwa janin di dalam rahim jangan dianggap sebagai beban, melainkan sebuah anugerah tak ternilai. Bahkan, Allah mengganjarkan surga (mati syahid) untuk para ibu yang meninggal saat melahirkan anak dari dalam kandungannya. Coba lihat di luar sana, begitu banyak pasangan suami-istri yang ingin sekali memiliki keturunan tapi belum juga Allah berikan, sedangkan kita diberikan anugerah itu dengan tidak menunggu lama setelah menikah.

Saya juga teringat dengan banyaknya aktivitas saya yang terhalangi dengan kehadiran sang janin. Tapi, akhirnya saya menyadari dan mensyukurinya bahwa semua ini adalah nikmat-Nya, anugerah-Nya, dan suatu saat nanti saya akan mengenang saat-saat indah dengan perut membuncit ini dikarenakan ada seorang makhluk mungil di dalamnya. Merasakan gerakannya, keaktifannya, dan masa-masa melahirkan yang (mungkin) tak akan bisa terlupakan seumur hidup.

Subhanallah... dengan keadaan saya yang sekarang ini, saya benar-benar merasa betapa agung-Nya Dia, betapa Mahabesar-Nya Dia. Setelah ketakjuban saya dengan saktinya sebuah kalimat ijab-qabul (dulu), sekarang saya kembali merasa takjub dengan kekuasaan-Nya yang dapat menciptakan seorang makhluk yang berawal dari sebuah tempat sempit di dalam rahim seorang ibu. Subhanallah...

Semoga bisa menjadi pelajaran untuk semua calon ibu di seluruh dunia :)
'Tuk Ayahnya sayang kecil: Makasih ya :)