Jumat, Juli 30, 2010

Check In

Trilogi Amazing Moment (2)

Hari Ahad yang tak menentu. Sejak pagi rasa was-was mulai muncul, tapi saya masih ragu untuk mengiyakan ajakan suami untuk pergi ke rumah sakit. Menit demi menit berlalu, jam demi jam terlewati, sambil merasakan mules yang tak menentu. Menjelang siang, tepat pukul 11.30 WIB, mules itu mulai muncul per 10 menit. Saya pun mulai merasa tak nyaman, apalagi suami, dia merasa seperti sudah saatnya.

Selepas makan siang, akhirnya diputuskan untuk segera berangkat ke rumah sakit. Sudah berbekal tas yang berisi perbekalan selama di rumah sakit yang sudah saya siapkan dari jauh-jauh hari, saya dan suami berangkat dengan kuda besi beroda dua menuju rumah sakit. Selama di perjalanan saya masih sempat-sempatnya menghibur diri dan mengajak suami bicara sambil bercanda, berusaha mengurangi rasa sakit.

Sampai di rumah sakit, kami langsung ke lantai dua, seperti yang sudah diintruksikan oleh dokter saat kontrol hari Sabtu. Saya diminta untuk masuk ke sebuah ruangan besar, sendiri. Suami diminta untuk menunggu di ruang tunggu berjarak kira-kira 20 meter dari ruangan yang kami masuki sebelumnya.

Ruangan yang cukup besar, berisi tiga tempat tidur membentuk huruf L dengan jarak kira-kira 3 meter antar tempat tidur, ada sebuah toilet, dan di satu sisi ada wastafel, kulkas kecil, dispenser, dan tempat menaruh berbagai peralatan medis. Secara spontan saja, saya menuju ke arah kasur yang serong dari pintu masuk, dekat toilet. Bidan yang menyambut kedatangan kami di pintu masuk meminta saya untuk berbaring dan akan diperiksa.

Bidan Kartika, bidan yang cukup saya kenal wajahnya saat mengikuti senam hamil, padahal hanya satu kali bertemu dengannya. Ternyata dia pun mengenal saya. Dia mulai memeriksa denyut jantung bayi di dalam perut saya dilanjutkan dengan periksa dalam. Tahu maksud periksa dalam? Ya, pemeriksaan ini dilakukan oleh jari tangan bidan yang masuk ke dalam vagina untuk mengecek sudah berapa senti bukaan mulut rahim sebagai jalan lahir bayi.

Rupa-rupanya, tangan Bidan Tika tidak sanggup mencapainya. Lalu dia memanggil seniornya yang dipanggil ‘bunda’. Belakangan saya tahu namanya (kalau tidak salah) Bidan Elva. Wow, saking seniornya, bener-bener senior, jari tangannya pun berhasil menggapai apa yang dimaksud walau dengan susah payah dan kebandelan saya yang kerap kali mengangkat (maaf) bokong saat diperiksa. Ya, saat diperiksa bukaan jalan lahir itu sebenarnya tidak boleh mengangkat bokong karena akan mempersulit pencapaian jari tangan akibatnya tangan bidan akan ‘lebih masuk’ lagi dan rasa sakitnya pun ‘lebih-lebih’ lagi.

Keberhasilan itu pun datang disertai ucapan hamdalah dari si bidan senior, dilanjutkan dengan kata ‘satu’. Saya langsung menangkap bahwa yang dimaksud adalah bukaan satu sentimeter. Bidan senior itu pun keluar. Saya masih berbaring untuk diperiksa kembali denyut jantung bayi di dalam perut dengan alat yang lebih keren disertai print-out seperti mesin pencatat getaran gempa bumi. Lalu, Bidan Tika datang lagi dengan meminta beberapa informasi tentang diri saya (biodata). Lama kemudian, saya keluar. Suami diminta untuk mengurus check in kamar karena menurut informasi dari bidan yang menelepon dr. Kus saya diminta untuk menginap di rumah sakit saja, tidak usah pulang lagi.

Tak lama, suami kembali dan sudah mendapat kamar untuk menginap. Akhirnya, jadilah kami mulai bermalam di rumah sakit sejak Ahad malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar