Jumat, Juli 30, 2010

Sekali Lagi, yang Terakhir

Trilogi Amazing Moment (3)

Senin pagi tiba setelah semalaman tidak bisa tidur lantaran mules yang kerap datang membangunkan saya. Pagi itu, saya diperiksa lagi apakah ada penambahan bukaan jalan lahir. Rupa-rupanya belum nambah. Setelah bidan menelepon dr. Kus, diputuskan untuk memasang balon. Ntahlah saya tidak mengerti seperti apa alat yang disebut balon itu, yang dimasukkan ke dalam jalan lahir. Bagian yang berada di luar saya melihatnya, semacam selang ada bagian ulirnya. Kata bidan, setelah balon dipasang, saya boleh beraktivitas kembali dan melakukan BAK atau BAB seperti biasa. Awalnya, setelah dipasang, saya BAK agak-agak aneh, tapi saya coba biasa saja.

Oiya, balon itu (denger-denger) fungsinya untuk mempercepat penambahan bukaan jalan lahir karena bayi yang di dalam rahim usianya sudah mencukupi, khawatir terjadi sesuatu makanya harus dipercepat dan salah satu caranya dengan dipasang balon itu. Mungkin kalau dengan balon itu tidak berhasil, akan ada tindakan lain yang (mungkin) lebih dahsyat. Kenapa saya bilang lebih dahsyat? Ya, karena setelah dipasang balon itu, mules saya nggak ketolong lagi (berlebihan ya?!). Setiap 10 menit sekali datang mules yang amat hebat sampai saya terguling-guling (padahal nggak bisa guling-guling juga). Saya sampai meringkel di tempat tidur padahal kaki nggak boleh ditekuk. Duh, serba salah rasanya saat itu. Apalagi ketika disuruh makan, harus cepat-cepat ketika rasa sakitnya sedang tidak kambuh karena kalau sedang kambuh jangan paksa saya untuk makan, duduk saja tidak sanggup.

Setiap mules datang, saya menggenggam tangan suami dengan erat. Setelah rasa sakit hilang, saya tetap memegang tangannya, seolah-olah tidak ingin dia pergi sesenti pun. Kalau tangannya sedang tidak bisa digapai, tangan umminya sayang kecil yang jadi sasaran.

Jam makan siang tiba. Saya berusaha makan ditemani suami. Ketika rasa mules datang, saya kembali meringkuk. Ketika rasa mulesnya pergi perlahan, saya pun mengunyah makanan yang sudah terlanjur masuk mulut tapi belum sempat saya kunyah. Makan siang itu tidak habis. Setelah makan siang, tepatnya setelah azan zuhur, saya dipanggil ke kamar bersalin untuk dicek apakah ada hasil dari pemasangan balon tersebut. Rupanya balonnya belum lepas, begitu kata bidannya. Saya pun disuruh tiduran saja di kamar yang terasa adem itu, tanpa ada teman. Berkali-kali mules datang, tak ada lagi pegangan tangan seperti saat di kamar tadi. Saya hanya bisa berpegangan di tempat tidur atau kadang meremas bantal.

Beberapa lama kemudian, rupanya balonnya lepas dan sudah bukaan lima. Itu yang terucap dari lisan dr. Kus yang tiba-tiba muncul dengan bajunya berwarna hijau plus jas putih kebanggan seorang dokter. Lalu, saya kembali disuruh menunggu. Sambil menunggu itu, sayup-sayup saya mendengar suara suami yang menanyakan keadaan saya pada bidan di depan kamar bersalin karena memang sejak zuhur itu saya ke kamar bersalin, (mungkin) tidak ada yang memebri kabar padanya. Ingin rasanya berteriak untuk memintanya menemani saya saat itu, tapi tidak bisa. Tak lama, saya melihat kesibukan para suster dan bidan mempersiapkan berbagai macam alat di samping kiri tempat tidur saya. Ya, sepertinya ’waktu itu’ akan segera tiba. Tak lama, saya kembali diperiksa dan ternyata sudah bukaan delapan. Persiapan semakin dipercepat dan terlihat sudah rapi.

Saya tidak tahu persis waktu sudah menunjukkan pukul berapa saat itu, yang jelas saya masih bisa mendengar suara azan ashar waktu itu. Setelah azan selesai, bidan dan dokter sudah ready di kanan-kiri saya. Lalu saya mendengar seorang bidan meminta agar suami saya dipanggil. Tak lama, suami tersayang datang dan berdiri di sisi kiri atas tempat tidur.

Waktunya tiba. Saya disuruh mulai mengejan beberapa kali. Masya Allah, rasanya sudah campur aduk. Tak ada tenaga yang bisa begitu kuat mendorong (mungkin) selain saat itu. Ada seorang bidan di sebelah kanan saya yang ikut membantu mendorong dengan menekan perut saya bagian atas. Ya Allah, sakit di jalan lahir ditambah mules rasanya ingin segara diakhiri. Caranya hanya satu yaitu saya harus segera mengeluarkan sayang kecil kami.

Entah sudah berapa lama waktu berjalan. Beberapa kali saya kembali diminta untuk mengejan. Beberapa kali juga saya salah teknik. Teknik yang sudah diajarkan saat senam hamil dulu terasa begitu mudah, tapi ketika dihadapkan pada kenyataannya terasa sulit. Saat mengejan yang merangkul kedua paha rasanya begitu berat. Ditambah harus mengejan tanpa suara. Suami terus menyemangati dengan dzikir dan do’a sambil memegang kepala saya. Sempat beberapa kali mengambil napas, namun tidak lama dan saya diminta terus mengejan karena memang tidak boleh berhenti. Jika berhenti bisa berakibat fatal untuk sayang kecil. Di antara saat mengejan itu saya merasakan ada sesuatu yang nyeri-nyeri di bagian jalan lahir. Saya juga sempat melirik dr. Kus yang seperti sedang melakukan sesuatu dan mengakibatkan rasa nyeri itu. Ya, saya merasa beliau sedang menggunting guna memperlebar jalan lahir sehingga sayang kecil mudah dikeluarkan.

Ketika dikatakan bahwa kepala sayang kecil sudah terlihat dengan rambutnya yang hitam, saya semakin terpacu. Bidan mengatakan “sekali lagi, Bu, terakhir yuk, Bu!”, tapi ternyata belum berakhir. Dan saat bidan di sebelah kanan sedang belum ready, saya mengejan sendiri dan akhirnya...ya, akhirnya 19 Juli 2010 pukul 15.50 WIB kepala sayang kecil keluar juga. Alhamdulillah, semua mengucap syukur. Tapi masih ada yang mengganjal. Setelah dr. Kus mengeluarkan bahunya barulah saya merasa lega. Suami saya langsung mengucap syukur dan mengecup saya berkali-kali. Saya merasa lemas, sangat lemas. Habis semua energi.

Ternyata, inilah rasanya dulu mama saat melahirkan saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar