Kamis, Mei 07, 2009

Tidak Boleh Egois

Sejak awal tidak terlalu menyukai puisi (sejak di sekolah lho...). Kalaupun dibaca, hanya sekadar dibaca tanpa memaknainya lebih jauh, sedapatnya aja. Tapi, jika puisi itu memang benar2 menyentuh (alias bagus) bisa jadi akan saya baca berulang-ulang dan dimaknai maknanya dengan antusias.
Puisi "Puisi Cantik Untuk..." saya akui bagus. Puisi itu pemberian seorang sahabat (yang juga jago buat puisi, tapi yang ini bukan puisi buatannya). Saya tertarik ingin mengungkap lebih jauh bait dalam puisi tersebut yang saya beri tinta warna pink. Saya kutip bait tersebut.


Awal dari cinta adalah
membiarkan orang yang kita cintai
menjadi dirinya sendiri,

dan tidak merubahnya
menjadi gambaran yang kita inginkan

Jika tidak,
kita hanya mencintai pantulan diri sendiri
yang kita temukan di dalam dirinya


Benar apa yang tertulis dalam bait tersebut. Banyak terjadi, seseorang berusaha membuat orang yang dicintainya menjadi seperti yang diinginkannya. Bahkan mungkin menjadi orang yang sangat sempurna. Padahal noboby's perfect.

Latar belakangnya bisa bermacam-macam. Sekadar contoh, dia ingin orang yang dicintainya itu bisa dibanggakan di depan orang lain. Misalnya, seorang suami yang menginginkan istrinya jago masak agar ketika si suami mengundang teman-temannya makan di rumah, si suami tidak malu lantaran masakan istrinya tidak enak atau biasa-biasa saja. Padahal, si istri sejak kecil tidak pernah diajarkan masak oleh orang tuanya (mungkin dia anak mami atau memang ngga bakat di bidang memasak). Atau, kalaupun bisa memasak, hanya memasak makanan yang ringan-ringan saja. Mungkin kalau cuma sekadar bisa masak, si istri akan memperjuangkannya. Tapi, saat si suami meminta lebih, "jago masak", si istri sudah dipaksakan. Dipaksakan menjadi seperti apa mau suami. Bisa jadi, si suami punya ambisi ingin jadi seorang juru masak yang handal, tapi lantaran tidak kesampaian maka si istri lah yang jadi 'korban' (ups! maaf untuk para suami).

Ironis, ya. Jika di zaman seperti ini masih ada orang-orang seperti si suami dalam ilustrasi di atas. Padahal (jika menilik dari sisi kerumahtanggaan), seorang laki-laki menikahi seorang wanita adalah agar dapat saling melengkapi, bukan memaksakan kehendak suami kepada istri. Akibatnya, benar kata bait puisi tersebut, si suami hanya bisa melihat pantulan dirinya pada si istri. Jika si suami berwawasan luas, dia bisa melihat, who know's jika si istri punya kemampuan dan kelebihan (baca: bakat) di bidang lain, dan bukan memasak. Siapa tahu jika kelebihan si istri yang tidak dilihat suaminya itu bisa menghasilkan nilai lebih ketimbang jago memasak.

Bingung? Contohnya, si istri terampil memanfaatkan bungkusan makanan yang terbuat dari plastik dan hasil kreativitasnya itu bisa menghasilkan dengan cara dijual ke toko-toko. Bukankah ini akan menambah penghasilan keluarga?! Bukankah dengan begitu, suami tidak memaksakan kehendak dan istri pun tersalurkan kreativitasnya?! Bukankah hal ini akan membuat kedua belah pihak menjadi sama-sama senang?! Menyenangkan, bukan? (pasti jawabannya "iya").

Untuk para suami (karena dari awal contohnya udah suami-istri, jadi keterusan, he..he..), janganlah memaksakan kehendak pribadi kepada istri, jangan berusaha merubah istri menjadi apa yang suami inginkan, tapi berusaha menggali potensi istri agar dapat berkembang dan saling melengkapi. Kalau Anda (para suami) tetap memaksakan kehendaknya kepada istri, berarti Anda tidak mencintai istri Anda, melainkan Anda mencintai diri Anda sendiri. Anda harus akui itu, bahwa Anda merasa minder dengan apa yang dimiliki oleh istri Anda dan berusaha ingin membuat istri Anda seperti yang Anda mau (jujur aja deh!). Eits, untuk para istri jangan senang dulu. Hal ini juga berlaku kebalikannya. Istri pun tidak selayaknya memaksakan sebuah gambaran tentang suami ideal (menurut frame istri) kepada suami. Akibatnya, (bisa lebih fatal) suami bisa menjadi minder dan tidak dihargai sebagai kepala keluarga.

Ok, intinya... tidak boleh egois (betul?). Segitu dulu pembahasan tentang bait puisi di atas. Pembahasannya lebih panjang berkali-kali lipat dari isi di dalam bait puisi itu, ya :). Semoga berkenan bagi yang membacanya.

1 komentar:

  1. Istri pun tidak selayaknya memaksakan sebuah gambaran tentang suami ideal (menurut frame istri) kepada suami.

    BalasHapus